
SURAT TANPA NAMA
Diceritakan oleh Maureen Maybelle
Untuk Echa
Peringatan terakhir !
Kirimkan uang Rp. 500.000, masukan ke dalam amplpo coklat, dan letakkan di tong sampah yang ada di dapan kelas 2-C, paling lambat istirahat siang ini. Kalau tidak, rahasia bahwa kamu masih mengompol kalau tidur, akan tersebar di sekolah ini. Dan ingat, jangan beritahukan hal ini kepada siapapun, termasuk kepada guru, atau ortumu!
Wajah Echa berubah menjadi pucat. Tangannya gemetar memegang selembar surat tanpa pengirim, yang diletakkan di meja kelasnya, pagi itu. Ini sudah yang ke-tiga kalinya.
Echa merogoh tasnya. Ia sudah menyiapkan sebuah amplop coklat berisi uang Rp. 500.000, yang ia ambil dari tabungannya. Yah, apa boleh buat, daripada dia menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya-karena ketahuan bahwa sampai dengan kelas 2 SD, ternyata Echa masih mengompol kalau tidur.
Tiba-tiba seseorang menepuk punggung Echa.
“Dor!” serunya.
Echa menoleh sekilas, tidak bersemangat, “Eh, kamu, Sil”
Silvi, teman sebangku sekaligus teman akbrabnya, menatap Echa heran, “Kamu kenapa lagi, Cha? Kok lesu begitu? Jangan jangan…”
Echa mengangguk lemah.
Silvi melonjak kaget, “Surat kaleng lagi?”
“Ssst,” Echa menempelkan telunjuk di mulutnya. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Takut ada yang mendengar,”Jangan keras keras,” bisiknya.
Silvi mengernyitkan keningnya, seperti berpikir. Lalu katanya, “Kita harus memberinya pelajaran.”
“Maksudmu?“ tanya Echa bingung.
Silvi berbisik di telinga Echa, sementara Echa menganggung-angguk, tanda mengerti.
Bel istirahat berbunyi. Anak-anak berlarian keluar dari kelasnya masing-masing. Ada yang ke kantin, ada yang bermain, ada juga yang cuma duduk ngobrol.
Sementara itu, Silvi duduk tidak jauh dari tong sampah di depan kelas 2-C, sambil berpura-pura membaca buku pelajaran. Tetapi, matanya terus memperhatikan setiap anak yang lewat di depan tong sampah kelas 2-C.
Tidak berapa lama kemudian, Echa muncul. Ia membawa sebuah amplop coklat besar, yang ia masukkan ke dalam tong sampah di depan kelas 2-C. Setelah itu, ia pun berlalu.
Bel istirahat masuk tinggal dua menit lagi. Tapi, belum ada seorangpun yang mengambil amplop Echa dari tong sampah. Silvi mulai gelisah, “Wah, bias-bisa, pengirim surat kaleng itu tidak jadi tertangkap,”pikirnya.
Tiba-tiba, seorang anak lewat. Ia menuju ke tong sampah di depan kelas 2-C, mengambil amplop coklat, lalu bergegas pergi.
Silvi tak kalah sigap. Diikuti Echa yang juga ikut mengintai dari sudut lain, mereka segera mengejar anak itu, dan…
“Bobi!” seru Echa terkejut. Rupanya Echa mengenali anak itu sebagai anak pembantunya di rumah. Bobi memang seumur dengannya, dan oleh ayah Echa, ia disekolahkan di sekolah yang sama dengan Echa.
Bobi kelihatan kaget, bingung, dan takut,” Aku…a…. anu…”
“Mengapa kamu berbuat seperti ini Bobi?” tegur Silvi, “Bukankah Echa selalu baik sama kamu? Kenapa kamu jahat sama dia?”
Bobi menunduk takut. Wajahnya pucat pasi karena perbuatannya sudah ketahuan.
“Maafkan aku, Echa. Aku melakukan semua ini, karena aku ingin membeli sebuah sepeda baru, dan harganya Rp. 500.000.”
Echa menghela napas, lega bercampur kesal, “Oooh, Cuma itu. Kenapa kamu nggak bilang saja. Kalau kamu bilang kepada aku dan kepada papa, pasti beliau akan membantu.”
Bobi mengangkat wajahnya takut-takut, ”Jadi,…kalian memaafkan aku?”
Echa dan Silvi tersenyum,” Anak Tuhan yang baik, harus saling memaafkan. Bukan begitu?”
Selesai
April 6, 2004
Oleh : Maureen Maybelle