WELCOME TO MY SITE
maureen-files - Si Pemurung Karen
 

Home
Beli Online Buku Anak
Karya Yg Pernah Terbit
Skenario Film Anak
Article dan Inspirasi
Cerpen-Cerber-Dongeng
=> Surat Tanpa Nama
=> Misteri di Villa Green Island
=> Petualangan : Lily si Topi Lebar
=> Si Pemurung Karen
=> Theo Hilang
=> Petualangan di Lembah Hijau
=> Qiu Qiu si Platipus Kecil
Panggung Boneka Anak
Drama Anak, Remaja, Umum, Lansia
Contact

MAUREEN'S COPYRIGHT

Cerita petualangan:

Diceritakan oleh : Maureen Maybelle

 

 

Si Pemurung Karen

Bag 1

 

Libur sekolah sudah tiba. Christ, Davis dan Rachel menerima surat dari paman mereka yang tinggal di Cibinong. Paman Edward mengundang ketiga keponakannya itu untuk berlibur di rumahnya. Beliau berjanji akan menyediakan tempat yang menyenangkan untuk ketiga keponakannya tersebut.

“Bagaimana anak-anak? Kalian tertarik untuk berlibur ke Cibinong?” tanya Papa yang sedang duduk dengan koran di tangannya.

“Tentu saja, Pa! Aku belum pernah berlibur ke sana,” jawab Davis antusias.

“Oh, ya, Pa, Paman Edward punya anak yang seumur dengan kami, ‘kan?” tanya Christ.

“Ya, anak perempuan, namanya Karen. Kata Paman Edward, dulu Karen anak yang periang dan pemberani. Tapi, sejak ibunya, Bibi Susie, meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakaan, Karen berubah menjadi pendiam dan pemurung. Ia tidak mau lagi bergaul dengan teman-temannya,” Papa bercerita, lalu menghela napas panjang. “Itulah sebabnya, Paman Edward sangat berharap, kalian semua bisa berlibur di rumahnya.”

“Anak pemurung?” kata Rachel lambat-lambat, mencoba memahami maksudnya.

Davis beranjak, lalu duduk di kursi di depan play-station-nya, dan mulai bermain, sedangkan Christ melipat surat dari Paman Edward, lalu mendekati Papanya, “Jangan khawatir, Pa, kami akan berusaha membantu Paman Edward menjadikan Karen periang, pemberani kembali dan tidak pemurung lagi.”

Papa tersenyum. Ia bangga pada Christ, putra sulungnya, yang walaupun baru berusia sebelas tahun, tetapi ia sangat bijak. Ia sering menjadi penengah bagi adik-adiknya, Davis, 9 tahun, dan Rachel, 6 tahun.

Davis, yang bertubuh tinggi, dicap sebagai anak yang usil karena hobinya yang sering mengusili adiknya, juga teman-temannya di sekolah dan di antara tetangganya. Rachel, si bungsu, adalah anak yang penurut, tetapi manja juga penakut akan hantu yang sebenarnya hanya khayalannya saja. Karena itu Davis sangat senang menggoda adiknya itu.

Hari yang dinantikan pun tiba. Ketiganya diantar Papa ke rumah Paman Edward. Kata Papa, Paman Edward mempunyai sebuah kolam pemancingan yang besar, lengkap dengan saung-saung buatan dan restauran taman yang asri dan menyenangkan. Dan yang lebih hebat lagi, tidak jauh dari rumah Paman Edward, ada sebuah danau. Danau sungguhan, bukan danau buatan dan cukup besar. Sepertinya danau itu cukup menarik untuk dijadikan tempat petualangan bagi ketiga kakak beradik itu.

Perjalanan menuju Cibinong cukup lancar. Setelah melewati beberapa belokan, akhirnya tibalah mereka di depan sebuah rumah yang sederhana, dengan halaman yang sangat luas. Rumah itu berdinding batu-batuan kali, seperti vila-vila jaman dahulu. Pintu pagarnya cukup lebar, bisa untuk masuk dua buah mobil sekaligus. Sedangkan pagar di kiri kanannya dipenuhi oleh tanaman merambat.

“Kita sudah sampai,” kata Christ pada adik-adiknya yang duduk di belakang.

“Oh, ini rumah Paman Edward?” kata Rachel terkagum-kagum.

“Aku mau melihat ke kolam pemancingannya segera, ah!” kata Davis.

“Nanti dulu, Davis. Lihat, tuh, Paman Edward sudah menunggu kita di depan pintu!” kata Christ.

Paman Edward segera menyambut Papa. Papa adalah adik kandung Paman Edward. Karena kesibukan Papa di kantor, dan kesibukan Paman Edward dengan bisnis pemancingannya, mereka jadi jarang bertemu.

“Ayo, ayo masuk!” Paman Edward menyambut tamu-tamunya itu dengan hangat.

“Nah, Karen, ini saudara-saudara sepupumu sudah datang. Ayo ke sini, Karen…,” panggil Paman Edward kepada seorang gadis kecil yang tampak mengintip dari balik dinding.

 

 

Bersambung

31 Maret 2007 – Maureen May


Cerita petualangan:

Si Pemurung Karen

Bag. 2

Cerita sebelumnya:

Christ, Davis dan Rachel sudah tiba di rumah Paman Edward di Cibinong dengan diantar oleh Papa. Paman Edward mengharapkan mereka bisa berteman dengan Karen, putri tunggalnya, yang pemurung sejak kematian ibunya. Pada waktu ketiga kakak-beradik itu akan diperkenalkan kepada Karen, ia malah bersembunyi dan mengintip dari balik dinding. Ada apa dengannya?

 

Paman Edward beranjak menuju putrinya, lalu meraih tangannya agar keluar dari persembunyiannya di balik dinding.

“Ini saudara-saudaramu dari Jakarta. Papa sudah cerita kepada kamu tentang mereka ‘kan? Ayo, bersalaman, mereka bukan orang asing,” bujuk paman Edward dengan nada lembut.

Karen melangkah dari tempatnya berdiri dengan terpaksa. Tidak ada senyum di wajahnya dan rambutnya terlihat belum disisir. Ia masih mengenakan daster dan tidak memakai sandal.

Mula-mula Karen menyalami Rachel, lalu dengan cepat ia menarik kembali tangannya, begitu pun ketika ia menyalami Christ dan Davis. Ia tidak berkata apa-apa kepada mereka.

“Nah, karena mereka mau berlibur di sini, kamu menikmatilah liburanmu bersama mereka,” kata Paman Edward kepada putrinya.

Setelah itu Paman Edward meminta Karen mengantarkan Christ, Davis dan Rachel ke kamar yang sudah disediakan untuk mereka. Seorang pembantu rumah tangga menemai Karen. Christ dan Davis ditempatkan di sebuah kamar yang mengasyikkan di lantai 2. Kamar itu ada sebuah jendela yang menghadap ke pegunungan.

Rachel ditempatkan satu kamar dengan Karen. Kamar itu bersebelahan dengan kamar Christ dan Davis. Di kamar Karen juga ada sebuah jendela yang menghadap ke arah pegunungan. Rachel sangat menyukai pemandangan yang bisa dilihatnya dari kamar itu.

“Karen, kamarmu menyenangkan. Di Jakarta, tak mungkin bisa lihat pemandangan pegunungan seperti di sini,” seru Rachel bersemangat.

Karen hanya bergumam tidak jelas. Ia duduk di pembaringan, memperhatikan setiap tingkah laku Rachel, seolah-olah Rachel adalah orang yang perlu dicurigai.

Rachel yang merasa tidak nyaman dengan pandangan mata Karen pun bertanya, “Kenapa kamu lihat aku seperti itu?”

Karen membuang muka, lalu berpura-pura memperbaiki letak bantalnya, sambil berkata, “Apa maksudmu? Aku biasa saja… Aku ada urusan. Kalau kamu perlu sesuatu, panggil saja Bi Inah.” Lalu dengan acuh tak acuh, Karen berjalan keluar dari kamar, dan menghilang di balik pintu.

Rachel terdiam. Ia sangat heran dengan perilaku Karen yang tidak bersahabat. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit lamanya dan Karen tidak kunjung kembali, Rachel beranjak menuju kamar saudaranya.

Christ tampak sedang berdiri di jendela, menghadap ke pegunungan, pada waktu Davis membukakan pintu kamar.

Ada apa, Rachel?” tanya Davis.

“Karen anaknya sama sekali tidak asyik. Kita pulang lagi saja, yuk. Sepertinya, liburan di sini bakal tidak menyenangkan,” kata Rachel sambil cemberut.

Christ yang sedang berdiri di jendela mendekati mereka, “Bakal tidak menyenangkan bagaimana?”

“Ya, itu… Karen anaknya tidak asyik….”

“Tapi kita ‘kan ke sini untuk berusaha berteman dengan Karen. Ia jadi begitu karena kehilangan ibunya, dan tugas kita membuat Karen jadi periang seperti dulu lagi,” Christ berusaha menengahi.

“Bhuh, membosankan! Itu, sih, namanya bukan liburan!” gerutu Davis, “itu namanya jadi pengasuh anak.”

Davis, jaga kata-katamu!” tegur Christ mengingatkan.

“Iya! Hati-hati kalau bicara! Kalian itu tamu di sini! Memangnya siapa yang butuh pengasuh anak? Menyebalkan!” Tiba-tiba wajah masam Karen muncul dari balik pintu. Pakaiannya sudah diganti. Ia mengenakan celana pendek jeans dan t-shirt berwarna biru cerah. Ia memakai sandal dan rambutnya disisir rapi.

Ketiga bersaudara itu menatap Karen dengan mulut ternganga. Pembicaraan mereka didengar oleh Karen dan sekarang anak itu marah kepada mereka. Wah, sungguh awal liburan yang buruk.

 

Bersambung

31 Maret 2007 – Maureen May

 

 

Si Pemurung Karen

Bag. 3

 

Cerita sebelumnya:

Awal liburan di Cibinong bagi ketiga bersaudara, Christ, Davis, dan Rachel, sungguh tidak menyenangkan. Sambutan Karen, sepupunya yang adalah anak pemilik rumah itu, sama sekali tidak ramah. Ditambah dengan komentar Davis yang secara tidak sengaja didengar oleh Karen, menambah rumit suasana.

 

 

 

Karen berlari meninggalkan ketiga saudara sepupunya yang berdiri dengan mulut ternganga. Karen sangat kecewa saat mendengar ucapan Davis yang mengatakan bahwa mereka, yaitu: Christ, Davis, dan Rachel, hanya akan menjadi pengasuh anak untuknya. Padahal, setelah bertemu dengan ketiga saudara sepupunya itu, Karen segera membersihkan dirinya, mengganti pakaiannya dan menyisir rambutnya, karena ia akan bersama dengan teman-teman barunya, yaitu saudara-saudara sepupunya itu.

Karen terus berlari meninggalkan rumah, melalui jalan setapak, melewati semak-semak dan pepohonan tinggi, menuju ke tempat persembunyiannya, di suatu pelosok tempat. Tempat persebunyian Karen adalah sebuah goa di dekat danau.

Goa Karen sangat rahasia, karena tertutup oleh rimbunan semak dan cabang-cabang pohon rambat yang menjuntai di atas goa. Tidak ada yang mengetahui keberadaan goa itu, kecuali Karen dan pembantunya, Bik Inah. Di tempat itulah Karen biasa menghabiskan kesendiriannya, terutama apabila ia merasa sedih, kecewa, dan marah. Di sana ia sudah menyiapkan beberapa bekal seperti makanan ringan yang tahan lama, yang ia simpan dalam sebuah kotak plastik yang kedap udara.

Namun, sebelum Karen tiba di goanya, ia dikejutkan oleh adanya beberapa orang asing yang berdiri berkerumun, tidak jauh dari pintu masuk ke goanya. Terpaksa Karen mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam goa. Ia meringkuk di balik semak dan batu besar, sambil menunggu orang-orang asing tersebut meninggalkan tempat itu.

Hmmm, kita berhasil! Uang-uang ini sangat mirip dengan aslinya!” kata seseorang dengan suara berat.

“Ya! Ini artinya kau harus membuat lebih banyak uang palsu lagi, hahaha…. Dan kita akan menjadi kaya raya… hahaha….”

Hahaha!” sambung yang lainnya, “Kita kaya raya… hahaha…!”

Karen terkesiap. Apa yang didengarnya? Uang palsu? Apa yang mereka lakukan dengan uang palsu? Jantung Karen mendadak menjadi berdebar-debar. Uang palsu? Ada orang-orang jahat di dekat goa persembunyiannya, dan mereka mempunyai uang palsu.

“Mereka pasti penjahat! Ya, mereka pastilah penjahat besar!” batin Karen panik. Karen menjadi gelisah, ia bingung apa yang harus dilakukannya?

Karena paniknya, Karen menjadi gugup. Ia berusaha untuk menahan napas, tetapi, ups, tanpa sengaja ia menendang sebuah kerikil, dan….

“Suara apa itu?” terdengar suara berat besar menggelegar.

Karen ketakutan. Keringat dingin mendadak membasahi tubuhnya. Ia ingin menangis, tetapi ia tahu, ia tidak boleh menangis. Ia tidak berani bergerak dan bernapas. Ia ingin berlari, tetapi kedua kakinya seakan-akan tidak bisa digerakkan. Tubuhnya terasa lemas karena takutnya. Ia mendengar suara langkah-langkah berat mendekat, dan semakin mendekat….

 

Bersambung

 

Si Pemurung Karen

Bag 4

 

 

Ringkasan sebelumnya :

Karen tiba di dekat pintu gua persembunyiannya.Tetapi, ia tidak bisa masuk ke dalam gua, karena ada beberapa orang yang sepertinya penjahat, sedang berdiri berkerumun di depan pintu guanya. Dan celakanya lagi, Karen tanpa sengaja menendang kerikil. Itu membuat orang-orang yang berdiri di dekat gua curiga dan menghampirinya.

 

 

“Kau yakin mendengar suara, Pram?” suara yang satu berkata.

“Ya! Dari balik batu itu!”

“Mungkin suara angin?”

“Tidak mungkin!”

“Kita li  hat saja!”

Karen yang meringkuk gemetar di balik batu, tidak berani bergerak. Ia ingin lari, tetapi, kakinya seakan-akan tidak bisa digerakkan, dan lututnya terasa lemas. Karen sangat ketakutan.

Suara langkah kaki itu semakin mendekat dan………

“Seorang anak kecil!”

“Hah! Apa yang kau lakukan di sini anak kecil!”

Karen tidak menjawab. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Air matanya mulai bercucuran karena takutnya. Keringat membasahi peluhnya. Dan seluruh tubuhnya bergetar hebat karena takutnya.

Salah seorang dari orang-orang asing itu menarik berusaha untuk menarik Karen berdiri. Tapi tubuh Karen mendadak menjadi kaku karena takutnya, sehingga ia terjatuh kembali menggeletak.

“Mama………” jerit Karen dalam hatinya, “Aku takut ma…………………, Tolong aku Ma…”

“Anak ini ketakutan setengah mati. Sepertinya tidak berbahaya!” kata salah seorang dari orang-orang asing itu.

“Walaupun tidak berbahaya, dia bisa saja melaporkan apa yang sudah ia lihat tadi!” jawab yang lain.

“Hmmm, maksudmu?”

“Sebaiknya anak ini tetap kita amankan!”

Karen terus memejamkan matanya. Ia tidak bergerak, tergeletak kaku sambil menangis dan keringat bercucuran karena takutnya.

“Ikat dia! Ikat mulutnya, dan tutup matanya, sampai kita meninggalkan tempat ini!” jawab yang lain.

Salah seorang dari mereka pergi mengambil sesuatu. Beberapa saat kemudian ia kembali sambil membawa tali dan selembar kain usang. Kain itu dibagi menjadi 2, dan dijadikan penutup mata dan mulut Karen. Mereka mengikatkan Karen pada sebatang pohon besar, lalu meninggalkannya.

Karen ditinggalkan sendiri di tengah pelosok. Tidak ada orang yang lewat di situ. Langit mulai gelap. Hanya pohon-pohon yang tinggi yang berbayang seperti sosok-sosok yang tinggi dan gelap. Suara binatang malam yang bersaut-sautan pun mulai terdengar. Suasana bertambah mencekam dan menakutkan. Ya, tempat di mana Karen berada saat ini, memang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Karen benar-benar sendirian.

Di tengah rasa takutnya, Karen teringat akan ibunya. Karen teringat akan masa-masa ia bersama dengan Ibunya, dimana ia selalu merasa nyaman.  Ia tidak pernah mengalami ketakutan seperti saat ini. Ia tidak pernah merasa ditinggalkan. Ia tidak merasa sendirian. Apabila ia mengalami masalah, ia selalu mencari Ibunya, dan semua menjadi beres.

“Mama…. Tolong aku…………” ucap Karen lirih, disela isak tangisnya.

 

Bersambung

 

 

 

 

 

 

Si Pemurung Karen

Bag. 5

 

Ringasan cerita sebelumnya.

Karen ditinggalkan oleh para penjahat seorang diri di tengah pelosok, tidak jauh dari gua persembunyiannya. Ia diikatkan pada sebatang pohon besar, dengan mata dan mulut ditutup dengan kain. Karen sangat ketakutan.

 

Di  rumah Paman Edward.

            “Hari sudah gelap. Karen masih juga belum kembali,” gumam Christ, saat mereka bertiga menikmati hidangan makan malam, di ruang makan di rumah paman Edward.

            “Ah! Biarkan saja. Nanti juga dia kembali sendiri. Kan memang dia anak yang aneh!” sahut Davis acuh.

            “Jangan berkata begitu, Davis! Nggak enak kalau di dengar Paman…”

            “Kenapa harus nggak enak? Kan memang dia sendiri yang seperti itu…”

            “Sudahlah. Kita harus bisa memakluminya. Dia kan nggak punya mama. Dia nggak punya saudara kandung. Dia berbeda dengan kita. Dia bersikap seperti itu pasti ada sebabnya…” lanjut Christ menasehati.

            “Ah, sok baik, kamu!” gerutu Davis kesal.

            Rachel menatap kedua kakaknya sambil tercenung, lalu berkata lambat-lambat, “Sebenarnya dia itu kasihan ya?”

            “Aaah… kamu lagi. Kasihan, kasihan…. Apa yang perlu dikasihani? Anak jutek begitu?” seru Davis setengah berteriak.

            Davis!” tegur Christ keras.

            Suara langkah kaki terdengar mendekat. Suara itu datangnya dari arah dapur. Seorang ibu setengah tua, menyuguhkan buah-buahan sebagai penutup makan malam mereka.

            “Silakan dinikmati.” Kata Ibu itu sopan, lalu berbalik meninggalkan ruang makan, untuk kembali ke dapur.

            “Tunggu sebentar, Bu!” Panggil Christ tiba-tiba.

            “Iya, Dik?” kata Ibu itu berbalik kembali, menunggu instruksi dari Christ.

            “Ibu namanya siapa?” Tanya Christ ramah.

            “Nama saya Inah, Dik. Adik-adik boleh panggil saya Bik Inah.”

            Christ mengerutkan keningnya. Ia ingat kata-kata paman Edward, bahwa, setelah Ibunya, Bik Inahlah orang yang paling dekat dengan Karen sekarang ini.

            “ Oke deh Bik Inah. Begini, Bik. Saya ingin tanya, apakah Bibik tahu, kira-kira Karen sekarang ada di mana? Kok sudah segelap ini dia belum kembali, dan tidak ikut makan bersama kami di sini?”

            Bik Inah menghela napas, lalu menjawab, “Yah, Karen memang begitu. Ia sangat sulit bergaul dengan teman-temannya. Ia menjadi pemurung semenjak kematian Ibunya. Bila ia sedang menyendiri, ia biasanya pergi ke guanya, di dekat danau.”

            “Gua?” seru Davis dan Rachel bersamaan.

            “Gua?” ulang Christ sambil mengerutkan keningnya, “ Sampai semalam ini?”

            “Yah, memang kadang ia pergi sampai malam. Mungkin sebentar lagi ia kembali,” lanjut Bik Inah.

            Christ kembali mengerutkan keningnya, lalu berkata,” Bibik bisa antarkan kami ke sana?”

            Davis dan Rachel yang mendengar kata-kata Christ, ikut bersemangat, dan menatap Bik Inah dengan mata berbinar-binar.

            Bik Inah kelihatan ragu-ragu.

            “Kami hanya ingin memastikan bahwa dia aman di dalam gua. Karena, kalau ia pergi ke gua karena merasa tidak nyaman dengan kehadiran kami, itu terkesan sangat tidak adil untuk Karen, kan Bik?” lanjut Christ berusaha menjelaskan.

            “Kalian ingin ke sana sekarang?” Tanya Bik Inah lambat-lambat.

            Ketiga kakak beradik itu mengangguk serempak.

            “Tolong antarkan kami, Bik. Sebagai saudara sepupu, kita wajib bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada Karen, terutama pada saat seperti ini,” pinta Christ dengan wajah memohon.

            Bik Inah tampak ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk.

            “Saya akan antarkan kalian. Saya harap, kehadiran kalian bisa membuat Karen yang pemurung menjadi Karen yang ceria seperti dulu lagi.

 

bersambung

 

 

Si Pemurung Karen

Bag. 6

 

 

Ringkasan cerita sebelumnya:

Christ membujuk Bik Inah untuk mengantarkan mereka ke tempat persembunyian Karen. Christ merasa khawatir dengan keselamatan Karen, karena ia tahu alasan kepergian Karen dari rumah, tidak lain karena kehadiran mereka bertiga.

 

 

Christ, Davis, dan Rachel, mengikuti Bik Inah menuju ke perkampungan. Mereka menyusuri jalan-jalan yang berkelok-kelok dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi dan rerumpunan semak-semak. Hari sudah gelap, dan suara-suara binatang malam sudah terdengar bersahut-sahutan di sana-sini.

“Gelap, ya?” ucap Rachel sembil memegangi tangan Christ.

“Di tempat yang banyak pohon tinggi kaya gini, ya jelas aja gelap!” jawab Davis, sambil tangannya menyibak daun-daunan yang menghalangi langkah mereka.

“Tenanglah, jangan takut, masih ada sinar bulan di antara celah-celah daun,” Christ berusaha bersikap tenang.

“Walaupun gelap, biasanya daerah ini cukup aman,” Bik Inah menjelaskan.

“Makanya, kamu jangan takut, Rachel!” kata Davis.

“Siapa bilang aku takut? Aku tidak takut!” balas Rachel tidak mau kalah.

“Ssst! Diam! Aku mendengar sesuatu…,” kata Christ.

Ketiganya, termasuk Bik Inah segera menajamkan telinga. Ya, benar, terdengar suara yang sangat lirih, yang samar-samar terdengar di kejauhan. Suara apakah itu?

“Seperti suara orang menangis…,” bisik Rachel ketakutan.

“Benar! Seperti suara orang menangis…,” ucap Bik Inah lambat-lambat, “ itu… itu seperti suara Karen….”

“Suara Karen?” Christ cepat menanggapi. “Kalau begitu, ayo kita cari suara itu!”

Tidak terlalu sulit menemukan asal suara tangisan itu. Samar-samar Karen tampak duduk bersandar pada sebuah pohon besar dengan tangan dan kaki terikat, serta mulut disumpal dengan kain. Sinar bulan yang menerobos dari antara daun-daunan sangat membantu usaha pencarian mereka.

“Karen! Karen sayang!” Bik Inah menjerit histeris melihat majikan kecilnya dalam keadaan terikat dan menangis.

Christ, Davis, dan Rachel juga ikut terkesiap. Mereka yang tadinya sempat mengira hutan itu cukup menyenangkan, kini merasa ngeri, membayangkan kemungkinan apa yang sudah dialami Karen pada hari itu.

Karen menangis dalam pelukan Bik Inah. Ia menceritakan semua yang sudah ia alami, sementara Bik Inah membelai-belai rambut majikan kecilnya.

“Untung Bibik tadi mendengar permintaan Christ untuk mencari Karen,” kata Bik Inah. Karen terdiam, ia melepaskan diri dari pelukan Bik Inah. Ia melirik Christ yang kembali menatap adik sepupunya itu dengan iba.

“Karen, kami semua saudaramu. Kami memikirkan kamu.” Kata Christ berusaha bersahabat dengan Karen.

“Tidak ada yang baik padaku selain ibuku…, dan Bik Inah…” kata Karen pelan, yang masih sesekali terisak.

“Tapi kami peduli, Karen. Kami ini saudara-saudaramu,” Christ berusaha meyakinkan Karen. Karen menatap Christ tanpa menjawab.

Diam-diam Rachel meraih tangan Karen dan menggandengnya. Mula-mula Karen terkejut, tetapi Rachel memandangnya sambil tersenyum. Karen mulai merasa nyaman terhadap saudara-saudara sepupunya itu.

“Yuk, kita pulang,” ajak Christ.

Sepanjang perjalanan pulang, Karen bergandengan tangan dengan Rachel, dan senyumnya yang ceria muncul kembali.

 

 

selesai

 
Today, there have been 75 visitors (108 hits) on this page!
Hai....



Terima kasih sudah mengunjugi websiteku....



Di sini, teman-teman bisa membaca karya-karyaku, baik yang pernah diterbitkan di majalah, dipentaskan di panggung, difilmkan, sampai naskah-naskah yang batal terbit atau batal dipentaskan..



Selamat membaca dan semoga teman-teman menyukainya...



God Bless U All



link to : may-belle.webs.com
ANYONE PLS CONTACT ME AT : maureenmaybelle@yahoo.com This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free