WELCOME TO MY SITE
maureen-files - Petualangan di Lembah Hijau
 

Home
Beli Online Buku Anak
Karya Yg Pernah Terbit
Skenario Film Anak
Article dan Inspirasi
Cerpen-Cerber-Dongeng
=> Surat Tanpa Nama
=> Misteri di Villa Green Island
=> Petualangan : Lily si Topi Lebar
=> Si Pemurung Karen
=> Theo Hilang
=> Petualangan di Lembah Hijau
=> Qiu Qiu si Platipus Kecil
Panggung Boneka Anak
Drama Anak, Remaja, Umum, Lansia
Contact

MAUREEN'S COPYRIGHT

Cerita petualangan

Diceritakan oleh : Maureen Maybelle

 

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

Bagian : 1 - Berita Perceraian

 

Minggu Siang

 

Kereta Api Listrik Jurusan Jakarta Bogor melaju kencang.

Vanda, putri tunggal Keluarga Robert Suryadi yang baru berusia 8 tahun, duduk di dalam kereta, dengan ditemani oleh seorang pengasuhnya. Sebuah tas koper besar tergeletak di bangku, di antara Vanda dan pengasuhnya.

            “Sampai kapan aku harus tinggal di rumah Oma, Bik?” Tanya Vanda lirih, pada Bik Nah yang duduk terkantuk-kantuk di sebelahnya.

            “Sampai urusan Mama dan Papamu selesai, Vanda.” Ucap Bik Nah sambil menghela napas dalam.

            “Tapi, Bik… Apakah urusan Mama dan Papa bisa cepat beres? Tadi, sewaktu kita berangkat, Mama dan Papa bertengkar lagi, lalu Mama menangis…” kenang Vanda akan kejadian yang baru saja dilihatnya pagi itu.

            “Iya, Vanda. Itu sebabnya, Mama memintamu untuk tinggal bersama dengan Opa dan Omamu di Bogor, sampai urusan mereka selesai,” Bik Nah berusaha menjelaskan. Ia tidak berani mengungkapkan, apa yang telah terjadi sebenarnya. Mengapa Vanda dikirim ke Bogor untuk tinggal bersama dengan Opa dan Omanya. Masalahnya sebenarnya tidak sesederhana yang Vanda bayangkan… Bahkan, Bik Nah tidak yakin, Mama dan Papa akan memanggil Vanda untuk berkumpul kembali dengan mereka. Kemungkinan, hanya Papa atau hanya Mamanya yang akan memanggilnya… semuanya masih dalam proses

            Kereta Api Pakuan Express berhenti di stasiun Kereta Api Bogor. Opa dan Oma Yonathan sudah menunggu di bangku di depan sebuah restoran siap saji. Keduanya segera berdiri menyambut kedatangan cucunya.

            “Vanda sayang…” Oma Yo, panggilan Oma dan Opa Yonathan, memeluk dan membelai rambut Vanda. Di belakangnya, Opa Yo sudah siap menggandeng cucu kecilnya, menuju mobil sedan tua yang di parkir di dekat stasiun kereta.

 

            Rumah Opa dan Oma Yo terletak di sekitar daerah Bogor Selatan. Mereka tinggal di sebuah perumahan yang cukup elit, di daerah Bogor.

            Beberapa anak tampak sedang bermain-main dengan sepeda mini, otopet, dan berlarian-larian di sekitar taman komplek perumahan.

            “Opa Yo…” sapa salah seorang anak.

            “Eh, Stevan… lagi main ya?” jawab Opa Yo ramah.

            Stevan mengangguk.

            Di belakang Stevan tampak beberapa anak berdiri menatap Vanda.

            “Kalian semua mau berkenalan dengan cucu Opa?” Tanya Opa Yo lagi.

            Mereka mengangguk, sebagian malu-malu, bersembunyi di belakang temannya

            “Namanya siapa Opa?” Tanya seorang anak.

            “Namanya Vanda. Nah Vanda, beri salam untuk teman-temanmu…” lanjut Opa Yo.

            Vanda, dengan senyum malu-malu, memberikan salam untuk teman-teman barunya, “ Namaku Vanda, aku kelas 2.”

            “Aku Stevan, aku kelas 3.” ucap Stevan lantang.

            “Aku Timothy, aku sekelas dengan Stevan.”

            “Kalau aku adiknya Timothy.  Namaku Loly, kelas 2, sama seperti kamu.“ Loly tersenyum manis.

            “Nah, Stevan, Timothy, Loly, nanti kalian ajak Vanda main bersama kalian ya. Vanda anak tunggal, ia tidak punya kakak ataupun adik. Kalian mau menjadi teman-teman Vanda, kan?” Tanya Opa Yo.

            “Mau…”

            “Aku mau jadi teman Vanda, Opa!” seru Stevan.

            “Dan aku juga mau jadi temannya,” ucap Loly pelan.    

“Anak-anak yang pintar… “ seru Opa Yo senang.

            “ Nah, Vanda, kamu lihat anak-anak yang sedang bermain di taman sana? Yang berambut keriting namanya Ferry, yang bermain bola, namanya Bimo dan Aldo, yang dikucir dua, namanya Stefanny, dan adiknya Vessy. Yang main sepeda di sebelah sana ada Ryan, Liana, Tita, dan Ray, “ Opa Yo menunjuk kepada anak-anak yang sedang bermain di taman, tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

            “Apakah mereka juga mau menjadi teman-temanku Opa?” Tanya Vanda polos.

            “Mm, Stevan, menurut kamu, apakah mereka yang sedang bermain-main di taman sana, mau menjadi teman-teman Vanda?” Opa bertanya pada Stevan.

            Stevan tersenyum kecil, “ Nanti kami kenalkan Vanda pada mereka semua, Opa. Karena di kompleks perumahan ini, semuanya berteman. Dan seperti yang sering Opa Yo ajarkan setiap mengikuti Sekolah Minggu, kita semua bersaudara di dalam Tuhan, tidak boleh saling membedakan.”

            Opa Yo tersenyum puas. Ya, Stevan, Timothy, dan Loly, adalah murid-murid Sekolah Minggu asuhan Opa Yo. Di halaman rumah Opa Yo, setiap Minggu Pagi, diadakan kebaktian Sekolah Minggu, asuhan dari Gereja Bogor Pusat. Opa Yo yang mengkoordinir Guru-Guru Sekolah Minggu, dan membagi anak-anak menjadi beberapa kelas. Stevan, Timothy, dan Loly, adalah anak-anak Sekolah Minggu yang aktif dan tanggap pada setiap ajaran firman Tuhan.

 

            Sore itu cuaca cerah. Vanda, dengan ditemani Bik Nah, berjalan-jalan di taman komplek. Di sana sudah berkumpul beberapa orang anak, yang sebelumnya sudah berkenalan dengan Vanda.

            “Hai Vanda!” Sapa Stevan.

            “Hai Stevan,” jawab Vanda malu-malu.

            “Eh, kamu yang namanya Vanda, ya? Katanya, Mama dan Papamu mau bercerai?” seorang anak lain tiba-tiba menimpali. Ternyata Ray, sudah berada di belakang Vanda, bersama rombongan teman bersepedanya

            “Apa?” Tanya Vanda dengan suara mendadak serak.

            “Bercerai… Itu loh, berpisah, ga tinggal se-rumah lagi. Benerkan Liana? Yang dimaksud bercerai kan tidak tinggal serumah lagi?” Seru Tita dengan suara keras.

            Mata Vanda mendadak berkaca-kaca. Ia sendiri belum pernah mendengar secara langsung, bahwa ke dua orang tuanya akan bercerai. Tetapi, Vanda sudah mengerti apa arti bercerai. Vanda menengok ke Bik Nah, dan berkata dengan suara lirih dan serak, “Bercerai, Bik? Apa benar Papa dan Mamaku akan bercerai?”

            Bik Nah menjadi pucat. Dia bingung harus menjawab apa. Apalagi melihat Vanda yang matanya sudah berkaca-kaca.

            “A… Ng… Tidak, sayang. Mama dan Papamu tidak akan bercerai… Tuhan tidak akan membiarkan hal itu terjadi…” jawab Bik Nah terbata-bata.

            Stevan yang melihat suasana menjadi tidak enak segera mengalihkan pembicaraan, “ Ray! Kamu jangan sembarangan bikin gossip, ya! Vanda datang ke sini untuk berlibur. Opa Yo sudah memberitakan hal itu kepadaku sejak beberapa hari lalu. Kamu jangan jadi penyebar gossip yang nggak benar, ya!”

            Muka Ray menjadi merah padam. Ia kelihatan terkejut dengan teguran Stevan.

            “Siapa bilang gossip! Aku dengar sendiri dari…”

            “Sudah deh… Jangan di terusin. Kamu main saja dengan yang lain. Yuk, Vanda, kamu ikut aku ke sana… Di sana ada Timothy dan Loly sedang bermain ayunan.” Ajak Stevan pada Vanda dan Bik Nah.

            Dengan air mata yang mulai berlinang, Vanda, memegang erat tangan Bik Nah, mengikuti Stevan menuju taman.

 

            “Sudah jangan menangis, non Vanda. Nanti teman-teman barumu bingung melihatmu menangis. Dikiranya kamu kenapa…” bujuk Bik Nah lembut.

            Bik Nah sebenarnya sangat bingung harus menjawab apa, karena pada kenyataanya, perceraian ke dua orang tua Vanda memang sedang dalam proses.

            “Hai Timothy! Hai Loly! Ini Vanda datang. Nah Vanda, tuh masih ada ayunan satu di sebelah sana. Ayo kita kesana. Kamu duduk di ayunan, dan aku yang menganyunkannya, “ kata Stevan.

            Vanda tersenyum mengangguk, “ Terima kasih, Stevan. Kamu baik sekali.”

            Stevan ikut tersenyum, “Anak Allah harus mengasihi sesamanya, bukan begitu Tim, Loly? Itu yang sering diajarkan Opa Yo di Sekolah Minggu. Kami semua senang mengikuti Sekolah Minggu bimbingan Opa Yo. Kamu juga ke Sekolah Minggu juga, kan Vanda?”

            Vanda mengangguk.

            “Minggu besok, kita ke Sekolah Minggu bersama-sama, ya. Kami semua murid-murid Sekolah Minggu di rumah Opa Yo. Setelah itu, kita akan merencakan sebuah acara yang asyik buat kita semua. Setuju?” lanjut Stevan lagi.

            Vanda mengangguk, “Aku mau sekali. Terima kasih semuanya…”

            Stevan, Tim, dan Loly tersenyum. Mereka senang mempunyai teman baru. Dan mereka pun mulai memikirkan rencana asyik apa yang akan mereka lakukan.

 

bersambung

 

 

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

Bag : 2 - Rencana ke Lembah Hijau

 

 

Cerita sebelumnya :

Vanda dikirim oleh kedua orang tuanya untuk tinggal bersama Opa dan Omanya di Bogor. Vanda sangat heran. Ternyata, dibalik itu, ada gossip bahwa kedua orang tua Vanda akan bercerai. Hal itu membuat Vanda sangat sedih.

 

 

Sekolah Minggu baru saja usai.

Opa Yo, yang menjadi Guru Sekolah Minggu di situ, membereskan bangku-bangku sekolah minggu. Ia dibantu oleh Stevan, dan beberapa murid sekolah minggu yang lain. Tidak semuanya murid sekolah minggu mau membantu. Hanya sebagian saja yang ringan tangan. Sebagian lagi langsung pulang bersama dengan teman-temannya atau dijemput.

Hari ini, Opa Yo mengajarkan tentang kasih. Bahwa sesame murid Tuhan Yesus, kita harus saling mengasihi. Hal itu yang menumbuhkan semangat Stevan dan Timothy, untuk segera mewujudkan rencananya. Siapakah anak Tuhan yang mereka kasihi? Vanda. Ya, siapa lagi kalau bukan Vanda. Teman baru mereka, cucu Opa Yo, guru sekolah minggu mereka. Vanda yang kabarnya kedua orang tuanya akan bercerai. Tentu dia sangat bersedih. Stevan dan Timothy harus menghiburnya.

Belum lagi anak-anak sekolah minggu pulang semuanya, Stevan dan Timothy, sambil membereskan bangku-bangku dan perlengkapan sekolah minggu, sudah sibuk merencanakan, apa yang akan mereka lakukan untuk menghibur Vanda.

Ya, sesuai dengan rencana mereka sebelumnya, mereka bermaksud untuk mengadakan suatu kegiatan yang akan mengasyikan buat mereka semua. Kegiatan yang bisa membuat Vanda, teman baru mereka tersenyum dan tertawa.

“Bagaimana kalau kita ke air terjun?” saran Stevan.

“Aku lebih suka ke tempat yang ada hewan-hewannya.” Ujar timothy.

“Loly… nah itu Loly. Kamu punya ide apa untuk rencana jalan-jalan kita?”

“Ide? Jalan-jalan? Kita cari yang ada makanannya donk…” jawab Loly sambil tersenyum riang, membayangkan berbagai makanan yang bisa ia makan pada waktu jalan-jalan.

“Makan?” ucap Timothy bingung.

“Aku tau, suatu tempat yang mengasyikkan, dan ada makanannya. Lembah Hijau. Di sana, ada pepohonan durian, buah-buahan, bunga-bungaan, dan kalau kita berjalan lebih masuk lagi ke pedalaman, kita akan melihat air terjun yang masih alami.” Ucap Stevan sambil mengingat-ingat.

“Lembah Hijau? Di manakah itu?” Tanya Loly antusias.

“Sekitar 10 km dari sini. Kita bisa ke sana dengan naik angkutan kota. Bagaimana? Kalian tertarik?” jawab Stevan bersemangat.

“Aku sih setuju saja. “ jawab timothy lambat-lambat.

“Aku juga…” sahut Loly sambil tersenyum, “Makan durian? Kenapa enggak? “

Akhirnya, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan ke Lembah Hijau. Dan mereka akan memberitahukan Vanda tentang rencana mereka, hari itu juga.

 

“Opa Yo, kami mau mengajak Vanda berjalan-jalan. Kita akan memetik buah-buahan, dan mencari air terjun. “ kata Stevan setelah murid-murid Sekolah Minggu pulang semua.

“ Memetik buah-buahan dan pergi ke air terjun? Di manakah ada tempat seperti itu? “ Tanya Opa Yo heran.

“ Lembah Hijau, Opa. Aku mengetahui tempat itu dari teman Stevan. Katanya, tempatnya sangat mengasikkan, dan masih alami. “ lanjut Stevan bersemangat.

“ Kalian yakin, pergi ke sana akan baik-baik saja? “ Tanya Opa Yo menegaskan.

“Aku yakin, Opa…”

Opa Yo kelihatan ragu-ragu sejenak.

“ Begini… Opa pernah dengar tempat yang kalian sebut Lembah Hijau itu. Tetapi, tempat itu masih alami sekali. Kalian memerlukan orang dewasa untuk menemani kalian di sana. Mmmm …. Begini saja, sebaiknya, Bik Nah ikut dengan kalian…”

“ Bik Nah? “ Timothy sedikit protes.

“ Iya. Bik Nah… “ lanjut Opa tegas.

Timothy tampak ingin memprotes saran Opa Yo, tetapi, Stevan menyikut kakinya.

“Baik Opa. Kami setuju!” kata Stevan cepat.

“ Kalau Bik Nah ikut, setidaknya ia bisa membantu kami untuk hal-hal yang tidak kami pikirkan. Bukan begitu Timothy? “ lanjut Stevan lagi.

Timothy tersenyum kecut. Bik Nah? Yah… Buat Timothy, berpetualang lebih mengasyikan tanpa orang dewasa. Tetapi, apabila Bik nah harus ikut, yah … apa boleh buat…

“Yah, siapa tahu, Bik Nah bisa membantu. Paling tidak membantu menyiapkan bekal-bekal.” Ucap Timothy sambil tersenyum kecut.

 “ Jadi, boleh ya Opa?” tegas Stevan lagi.

Opa mengangguk.

“ Horeeeeee…..” sorak anak-anak serempak.

Vanda yang sejak tadi menjadi pendengar ikut melompat-lopat kegirangan.

Jalan-jalan. Ya, sungguh mengasyikan. Vanda tidak sabar menunggu datangnya hari itu.

Stevan memutuskan untuk melakukan acara jalan-jalan itu pada sabtu depan. Pagi hari. Mereka akan berangkat dari situ, bersama Bik Nah.

Ah, Vanda bersemangat. Semua anak-anak bersemangat. Mereka akan melakukan perjalanan yang mengasyikkan. Petualangan yang baru akan mereka mulai…

 

bersambung

 

 

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

BAGIAN 3 - TERJEBAK

 

Ringkasan sebelumnya:

Stevan, Timothy, dan Loly berencana untuk mengajak Vanda berpetualang ke Lembah Hijau, suatu daerah wisata hutan tropis yang masih alami, namun cukup kerap dikunjungi orang. Atas persetujuan Opa Yo, mereka diijinkan untuk pergi dengan syarat, Bik Nah ikut bersama dengan mereka.

 

Hari yang ditunggu-tunggu tibalah.

Anak-anak bersiap-siap. Mereka memakai sepatu kets, jacket, topi, membawa tas ransel, seperti layaknya para petualang cilik yang sering muncul di televisi. Sementara Bik Nah, sibuk menyiapkan segara bekal yang diperlukan : mulai dari roti, cemilan, minuman, permen, serta segala macam perbekalan yang diperlukan.

Hhmm … sepertinya perjalanan mereka akan sangat mengasyikan.

 

Untuk membantu perjalanan mereka, Opa Yo sudah menyiapkan mobil tuanya dengan seorang sopir, untuk mengantar dan menemani ke empat anak dan Bik Nah. Yah, seorang sopir untuk meyakinkan bahwa perjalanan mereka lancar dan selamat.

 

Mobilpun meluncur di jalan raya tajur, bogor, yang menuju Ciawi. Di dalam mobil, anak-anak bernyanyi-nyanyi riang, menyanyikan segala macam lagu. Mulai dari naik-naik ke Puncak Gunung, di sini senang di sana senang, dan segala macam lagu yang menyenangkan hati mereka.

 

“ Lihat. “ Stevan menjunjuk pada sebuah papan kecil yang terpasang pada batu besar, “ papan itu bertuliskan “ Wisata Alam Lembah Hijau , dengan panah 100 meter. Kita sudah sampai. “

“ Oh ya? Kita sudah sampai? Asyiiik … “ seru Timothy dan Loly bersamaan.

Vanda pun ikut tersenyum-senyum senang sambil melirik Bik Nah di sebelahnya.

 “ Kayaknya asyik dan menyenangkan, ya Bik. “

Bik Nah tersenyum mengangguk-angguk, “ Non Vanda pasti akan senang di sini.”

 

Anak-anak pun turun dari mobil. Bik Nah dan Pak Sopir ikut membantu menurunkan barang-barang bawaan. Rencananya, Pak Sopir akan menunggu di mobil, sementara anak-anak dan Bik Nah memasuki lokasi Wisata Alam Lembah Hijau.

 

Tempat itu dipenuhi dengan pohon-pohon beringin yang besar, dan pohon – pohon lain yang juga besar-besar. Jalan masuknya masih terbuat dari tanah yang berundak-undak. Semak-semak hijau terhampar di sana – sini. Akar-akar pohon yang besar membuat anak-anak harus lebih berhati-hati melewati jalan-jalan setapak di sana. Suara kicauan burung terdengar diketinggian pohon. Rasanya seperti memasuki hutan tropis, karena suasananya yang masih sangat alam.

Yang datang ke lokasi itu, tidak hanya mereka, tetapi, ada juga orang-orang lain yang datang ke sana untuk melancong. Mereka bahkan membawa keranjang yang besar-besar, untuk membawa pulang buah-buahan yang bisa mereka ambil di lokasi itu.

 

Hari itu benar-benar sangat menyenangkan buat mereka. Ketika tiba di lokasi pepohonan durian, mereka pun sibuk memilih buah-buah durian yang tergantung di pepohonan.

“ Lihat Steve, yang besar itu… Aku mau yang itu! “ seru Timothy.

“ Aku mau lagi, Tim, jangan Cuma ambil satu buah saja, dong … “ Loly ikut berseru-seru.

Mereka membawa buah-buah hasil petikan dari pohon itu ke tempat yang lebih sepi. Mereka menggelar tikar, sambil mengeluarkan bekal-bekal yang sudah disiapkan Bik Nah. Nasi dengan ayam goring dan lalapan. Mmm lezaat …

 

Hari pun terus bergulir.

Anak-anak masih belum puas. Mereka ingin terus masuk ke dalam.

“Aku mau lihat, ada apa lagi di dalam sana, “ kata Stevan.

“ Ya, aku juga masih penasaran. Katanya ada gua di sana… Tentunya asyik kalau kita bisa masuk ke dalam gua yang masih alam. Rasanya seperti di cerita – cerita … “ lanjut Timothy antusias.

“ Tapi, hari sudah mulai sore… “ kata Bik Nah berusaha mencegah. “ Sudah waktunya kita pulang … “

“ Pulang? “ kening Loly berkerut tanda tidak setuju.

“ Nanti dulu! “ protes Timothy.

“ Bik, setengah jam lagi saja, masuk ke dalam. Kan asyik kalau kita bisa menemukan gua itu, dan foto-foto di sana. Teman-teman pasti akan terheran-heran melihat foto-foto kita. Betul tidak Tim? “ lanjut Stevan menimpali.

“Yup !” jawab Timothy cepat, lalu menatap Bik Nah dengan wajah penuh harap.

Merasa tidak tega dengan permintaan anak-anak, akhirnya Bik Nah mengikuti kemauan mereka, melanjutkan ke dalam, mencari gua-gua yang masih alami yang, kabarnya terdapat di lokasi itu.

Hujan gerimis turun rintik-rintik. Jalan-jalan mulai sepi, karena sebagian pengunjung memilih untuk pulang, dari pada meneruskan perjalanan.

Anak-anak berjalan menyusuri sampai ke dalam.

“ Lihat papan tulisan itu. Gua ke kiri “ seru Tim kegirangan.

“ Kita berhasil! “ seru Stevan.

Loly dan Vanda juga nampak bersemangat. Sedangkan Bik Nah sibuk melirik jam di tangannya.

“ Jangan lama-lama di dalam gua, ya. Sepuluh menit saja, lalu kita pulang, karena hari sudah bertambah sore, “ kata Bik Nah dengan nada was – was…

“ Baik, Bik! “ seru ke-empatnya serempak.

Anak-anak pun berlarian kecil menuju ke dalam gua.

Gua yang sangat gelap dan dingin. Kelelawar beterbangan keluar masuk goa. Stalakmit dan stalaktit terlihat di sana – sini seperti tiang – tiang yang berukir.

“ Tidak ada monster yang akan muncul dari dalam gua, kan? “ ujar Vanda mencoba berseloroh.

“ Hiiii…. “ Loly membayangkan sebuah monster muncul dari dalam goa.

“ Auuuunggg ….. “ Tim berteriak sekeras – kerasnya.

“ Auuuuuunnnngggg …. “ suara gema bersaut – sautan keras di sana – sini.

“ Tim! “ seru Loly kesal.

“ Tiiiimmmmmm…. “ suara gema kembali terdengar.

Bik Nah kembali melirik jam tangannya. Tangannya melambai – lambai meminta anak-anak untuk kembali.

“ Kita harus segera pulang, “ ucap Bik Nah lambat – lambat.

“ Pulaaannnggg … “ suara gema bergaung di dalam goa.

Dengan sedikit kecewa anak – anak berjalan keluar dari goa. Ya, mereka belum puas, karena baru beberapa saat saja menginjak di goa. Mereka ingin menikmati rasanya berada di dalam goa lebih lama lagi. Seperti manusia jaman batu, yang hidupnya di goa-goa. Bagaimana rasanya, ya, tinggal di dalam goa.

Setibanya di mulut goa, mereka terpaksa harus terkejut dan kecewa.

Kabut tebal terhampar di depan mereka. Jarak pandang yang bisa terlihat hanya sejauh satu meter saja. Suasana begitu hening, sepi, seperti tidak ada kehidupan. Bahkan suara kelelawar yang berterbangan keluar masuk goa, seakan tidak terdengar lagi.

Suasana berubah menjadi mencekam. Ya… Hari sudah larut, tapi mereka tidak bisa kembali. Tidak mungkin menerobos kabut tebal, sedangkan mereka tidak hafal jalan yang baru saja mereka lalui. Mereka terjebak di dalam goa yang baru saja mereka temukan.

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

Bag : 4 - DI DALAM GOA

 

Cerita sebelumnya :

Anak-anak memaksa untuk mencari dan masuk ke gua alam. Sayangnya, ketika mereka hendak keluar dari gua alam itu, kabut tebal telah menyelimuti daerah itu. Mereka terjebak di dalam gua yang gelap dan dingin.

 

 

“Kita tidak bisa pulang” seru Timothy.

“Kita terjebak.” Stevan juga berseru panic.

“Bik Nah… gimana  nih?” Vanda bersuara lirih dan takut.

“Tenang… Kita cari tempat yang paling lapang untuk duduk… dan berpikir …” kata Bik Nah mencoba bersikap tenang.

“Kita hubungi saja Opa. Telpon Opa, Bik…” kata Vanda lagi, mulai bingung dan panic.

Bik Nah mengeluarkan HP, dan … tidak ada signal….

Gawat!

Mengerikan! Terkurung di dalam gua yang gelap dan dingin.

Tiba-tiba, sebuah nyala senter menerangi ruangan…

“Siapa yang bawa senter?” Loly bertanya keheranan.

“Aku yang bawa senter, Bik…” ucap Timothy.

“Bagus! Syukurlah kamu bawa senter. Jenius kamu… “ ucap Stevan bangga.

“Hmm, menurut aku, daripada kita duduk ketakutan dan kebingungan disini, bagaimana kalau kita masuk saja ke dalam, dan melihat2 ke dalam gua?” saran Timothy lagi.

“Jangan!” seru Bik Nah pucat.

“Tenang, Bik… Tidak akan terjadi apa-apa…” ucap Timothy dengan percaya diri.

“Nanti kalian tersesat, malah lebih gawat lagi…” lanjut Bik Nah, bertambah panic.

“Jangan kuatir, Bik. Lihat, aku membawa kapur warna-warni… Untuk persediaan…” lanjut Timothy bangga.

“Pintar! Kamu memang pintar….” Puji Stevan.

Timothy mengedipkan mata. “Kan sebelum berangkat, sudah kuselidiki dulu, kemana kita akan pergi, jadi, waktu kita tidak akan terbuang sia-sia… betul ga?”

“Siiip!” sambut Stevan bersemangat.

“Jadi?”

“Yak… Kita masuk saja ke dalam…” Stevan berkata dengan penuh semangat.

“Jangan, anak-anak…” seru Bik Nak kebingungan.

“Bibik di sini saja. Jadi, kalau nanti kami tidak juga kembali, sementara kabut sudah hilang, Bik Nah bisa minta orang untuk cari kami di dalam. Tetapi, jangan kuatir… kami pasti kembali…” ucap Timothy sambil mengedipkan mata….

Stevan dan Timothy bersiap-siap masuk ke dalam goa. Dengan berbekal senter dan kapur tulis, serta sebuah ransel di punggung Timothy yang berisi segala perbekalan yang ia bawa, untuk masuk ke dalam goa.

“Anak-anak itu…” Bik Nah bergumam dengan muka pucat.

“Loly ikut juga dengan Timothy & Stevan?” Tanya Bik Nah lemas.

“Nggak ah Bik… Aku di sini saja…”

“Yah! Setuju! Anak cewek dan Bik Nah disini saja… Siapa tahu kami kembali dengan membawa fosil-fosil jaman Belanda, hahaha ….” Seru Timothy mencoba berkelakar.

“Timothy!” seru Bik Nah mulai kesal.

Timothy nyengir, lalu berjalan masuk, diikuti Stevan dibelakangannya…

Kedua anak itu nekad masuk ke dalam gua.

“Gua Alam ini sudah dipromosikan. Berarti cukup aman untuk didatangi dan diselidiki…” lanjut Timothy berseru meyakinkan, sambil terus berjalan memasuki goa.

“Ya, aku juga berpikir begitu…” Stevan mengangguk-angguk setuju.

Kedua anak itu terus masuk ke dalam… Mereka asyik mengagumi  stalakmit& stalaktit yang begitu banyak dan beraneka macam di dalam goa… Mereka juga berfoto-foto di belakang stalaktit dan stalakmit.

Ternyata, Timothy  membawa 2 buah lampu senter untuk bergantian. Supaya awet baterenya, dan bisa digunakan untuk waktu yang lama.

Sesekali mereka harus merunduk, menghindari sambaran kelelawar yang beterbangan di dalam gua…

Tiba-tiba, diantara suara jeritan kelelawar, terdengar pula suara jeritan lain.

Suara jeritan yang aneh…. Dan…

“Stevan! Kamu dengan suara itu?”

“KIAAAAAKKKKK”

“SIAPA ITU?”

“CIIIIIIAAAAATTTTTT”

“Haaiiiiih…. Suara apa itu?’’ Tim mulai pucat.

“Tuuuuuuu…..” terdengar suara gema

“Mengerikan…” kata Tim lagi.

Kankan…” ulang suara gema menambah seram suasana.

Stevan dan Timothy mulai panic dan ketakutan. Suara apakah yang mereka dengar di dalam goa? Dari mana datangnya suara-suara itu? Apakah goa itu berhantu? Apakah mereka benar-benar akan menemukan fosil jaman Belanda, dan itu adalah hantunya?

 

bersambung

 

 

 

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

Bag : 5 - PENEMUAN MENGEJUTKAN

 

Ringkasan sebelumnya :

Tim dan Stevan memutuskan untuk masuk ke dalam goa. Bik Nah dengan berat hati, mengijinkan mereka masuk ke dalam goa. Di dalam goa, keduanya dikejutkan dengan suara-suara aneh. Suara apakah yang mereka dengar itu ?

 

 

            “CIIIAAAAT….”

            “ KIAAAAAKKK…..”

            “ SIAPA DI SITU ? “

            “ KIIIIIIIIIIKKKK …….”

            Bermacam-macam suara terdengar bersaut-sautan menggema di dalam goa. Tim dan Stevan benar-benar ketakutan. Mereka berpegangan tangan dan merunduk ngeri.

            Selang beberapa saat kemudian, suara itu menghilang. Dan Goa kembali menjadi sepi mencekam. Stevan dan Tim, masih tetap merunduk, tidak bergerak di tempat semula. Mereka masih shock mendengar suara-suara yang baru saja mereka dengar, dan untuk beberapa saat, belum bisa berpikir, apakah yang harus mereka lakukan.

            “Tim!” bisik Stevan

            “Kita keluar saja?” tanya Tim dengan wajah pucat.

            “Menurutmu, suara apakah itu?” tanya Stevan pelan, nyaris tidak terdengar.

            Tim menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tidak mau berpikir lagi. Ia ingin secepatnya kembali.

            “ Kamu takut ?” lanjut Stevan

            Tim tersentak. Takut?

            “ Kamu takut Tim? Suara itu datang dari arah sana… “ Stevan menujuk ke lorong goa tak jauh dari tempat mereka berada.

            Tim mengerutkan keningnya, “ Maksudmu? “

            Stevan mengangguk, “ Ada sesuatu di sana… “

            Tim menatap lorong goa yang ditunjuk oleh Stevan, lalu berpikir sesaat, “ Masuk ke goa itu ?”

            Stevan mengangguk, “ Berani tidak ?”

            Tim diam sesaat, “ Kalau setelah beberapa langkah terdengar suara seperti tadi lagi, aku akan lari keluar dan berkumpul bersama Bik Nah di mulut goa. “

            Stevan tersenyum kecil, lalu mulai berdiri dan berjalan.

            “ Aku bukan penakut. Tapi, … “

            “ Ssssh … sudahlah …… “

            Keduanya berjalan lambat-lambat menyusuri lorong goa. Lorong itu semakin lama semakin menyempit dan atapnya semakin merendah. Suasana masih terasa mencekam. Tetapi suara aneh yang tadi mereka dengar, sudah tidak terdengar lagi.

            “ Aneh! “ pikir keduanya.

            “ Lihat! Ada sinar di sana! “ ucap Stevan, menunjuk ke ujung goa.

            Tim memicingkan matanya, mengarahkan senternya ke ujung goa.

            “ Hmm… semakin aneh ….”

            Mereka berjalan semakin cepat. Keduanya tidak sabar ingin mengetahui, apa yang ada di ujung goa itu. Tanpa sadar mereka berlari – lari kecil, sehingga menimbulkan suara berisik yang menggema.

            “ Sshhh… jangan berlari “ ucap Stevan.

            “ Kamu juga lari … “ protes Tim.

            Keduanya tiba di pintu goa. Dan berdiri dengan mulut ternganga.

            Sebuah ruang goa yang luas. Dan di dalamnya tampak beberapa ekor binatang dalam kandang. Ada burung nuri, ada burung elang, ada kus kus, ada musang, ada bajing …

            “ Kenapa seperti kebun binatang ? “ ujar Tim terheran – heran.

            “ Rupanya suara mereka tadi, yang kita dengar … “ Stevan menimpali.

            “ ya… sepertinya begitu … “

            “ Bagaimana binatang – binatang ini bisa berada di sini? Dan dalam kurungan, pula? Bukankah … mereka adalah satwa – satwa yang dilindungi ? “ kata Tim lambat – lambat.

            “ Ya…, “ jawab Stevan lambat – lambat , “ sepertinya, ada sesuatu yang tidak beres di sini… “

            “ KIIIAAAK … “ seru seekor burung tiba-tiba.

            “ SIAPA DI SITU? “ ucap salah seekor burung.

            Tim dan Stevan tersentak terkejut.

            Belum hilang keterkejutan mereka, terdengar suara langkah kaki orang mendekat dan …

            “ Anak – Anak ! Apa yang kalian lakukan di sini ?” seru suara seorang laki – laki bertubuh besar.

            Tim dan Stevan berdiri ternganga. Mengapa bisa ada orang di dalam goa?

            “ Kalian mau apa di sini ? Mengapa bisa berada di sini? “ tanya orang itu lagi.

            “ Jangan – jangan mereka tersesat di dalam goa ?” ujar laki-laki lain.

            “ Hmm, tersesat atau tidak, mereka bisa mengacaukan rencana kita. Sebaiknya, kita amankan saja mereka, sampai urusan kita beres, setelah itu, baru kita lepaskan mereka. “ kata laki – laki yang berbadan besar.

            Beberapa orang laki – laki langsung menyergap Tim dan Stevan, dan mengikatnya mereka di sudut goa.

            “ Apa yang kalian lakukan? Mengapa kami di ikat? “ seru Stevan marah.

            “ Lepaskan kami! Lepaskan kami ! “ jerit Tim kesal.

            “ Kami hanya berwisata ke sini. Tolong lepaskan kami! “ seru Stevan mengubah suranya jadi memelas.

            Tetapi, orang – orang titu tidak mengindahkan mereka. Mereka malah berunding dengan suara pelan.

           

                                                            *****

 

Di Mulut goa, Bik Nah, Vanda, dan Loly, menunggu kembalinya Tim dan Stevan dengan gelisah dan cemas. Hari sudah larut malam. Bik Nah tidak berani mengajak anak – anak keluar dari goa. Apalagi Tim dan Stevan belum kembali.

            Untunglah, Bik Nah membawa cukup bekal untuk makan malam.

            Sementara itu, Loly, mengajak Bik Nah dan Vanda berdoa bersama. Untuk keselamatan mereka, untuk kedua kakaknya yang menghilang di dalam goa, serta untuk Opa Yo dan kedua orang tua Loly, agar tidak cemas memikirkan mereka yang tidak kembali.

 

            Ya, Opa Yo sangat cemas memikirkan cucunya beserta ketiga teman yang menemaninya, serta seorang pembantu dan sopir  yang tidak kembali malam itu. Opa Yo pun segera menelpon sopir yang mengantar mereka ke tempat Wisata Lembah Hijau itu.

            “ Ya, Pak. Mereka belum kembali dari berjalan – jalan pagi tadi, “ Pak Sopir melaporkan.

Maka, atas instruksi Opa Yo, Pak Sopir  segera mencari penjaga tempat wisata itu, untuk melaporkan kehilangan 4 anak dan seorang pembantu.

            Sementara itu, Opa Yo sendiri, sibuk melapor ke polisi. Tidak hanya Polisi, Opa Yo juga melaporkan kehilangan cucunya itu kepada kedua orang tua Vanda, di Jakarta.

 

Bersambung

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

Bag : 6 - Tertangkap

 

Ringkasan sebelumnya :

Tim dan Steven tertangkap di dalam goa. Mereka diikat tidak jauh dari hewan-hewan yang dikurung di dalam goa. Sedangkan di rumah, Opa Yo yang panik dengan keberadaan cucu dan anak-murid sekolah minggunya, segera menghubungi polisi dan orang tua anak-anak, termasuk orang tua Vanda.

 

Tim dan Stevan diikat dalam goa. Mulut mereka disumpal dengan sapu tangan lebar, sehingga tidak bisa berbicara lagi. Mereka di dudukan di pojok goa, tidak jauh dari tumpukan kurungan hewan-hewan liar.

Dalam hati Tim dan Stevan menyesal, tidak menuruti nasihat dan pesan Bik Nah. Biarpun cuma pembantu, tetapi Bik Nah lebih tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Tim dan Stevan terkurung di dalam goa. Dan tidak ada satupun yang tahu, di mana mereka berada, selain dari kedua penjahat yang mengikat mereka.

Kabar hilangnya anak – anak dengan seorang pembantu, membuat gempar penduduk di sekitar perumahan Opa Yo. Pak Polisi, Pak RT, Pak RW, orang tua anak-anak yang hilang, beberapa Satpam, semuanya hiruk pikuk keluar masuk rumah Opa Yo.

Mereka sangat bingung dan cemas memikirkan anak-anak mereka yang hilang.

“Sejak kapan ketahuan kalau mereka hilang?“ tanya seorang Bapak.

“Mengapa baru ketahuan sekarang ?“

“Ya, mereka baru menyadarinya sekarang, bahwa anak-anak itu hilang…”

“Hilangnya di daerah mana, sih?“

“Di tempat wisata alam…”

“Apakah tempat itu rawan?”

“Kabarnya tempat itu berkabut kalau sudah sore hari … “

“Wah, pasti mereka terjebak kabut … “

Beberapa warga berbicara silih berganti, sangat ribut dan sangat panik.

Opa Yo sendiri sudah menelpon ke Jakarta, untuk memberitakan kedua orang tua Vanda, bahwa putri mereka hilang di Lembah Hijau.

“Saya kasihan melihat keadaan cucu saya. Ia sangat terpukul mendengar berita rencana perceraian kedua orangtuanya. Sedangkan Steven, Tim, dan Loly, kelihatannya sangat antusias sekali , ingin menghibur Vanda. Itulah sebabnya, saya mengijinkan mereka pergi …“ ucap Opa Yo penuh sesal.

Hari itu sudah larut malam.

Bapak dan Ibu Robert, kedua orang tua Vanda, tiba di Bogor malam itu juga. Mereka segera berangkat menuju Bogor, ke rumah Opa Yo, segera setelah mendengar kabar hilangnya putri tunggalnya.

Pak Robert, papa Vanda, kelihatan sangat terpukul mendengar kabar hilangnya putri sematawayangnya. Apalagi setelah mengetahui bahwa, semua kejadian itu berkaitan dengan Vanda dan keluarganya sendiri. Peristiwa itu bisa terjadi karena teman-teman barunya ingin menghibur Vanda, putrinya. Dan Opa Yo mengijinkan mereka semua pergi berlibur dan bersenang-senang, juga karena beliau kasihan kepada cucu kesayangannya itu.

“Kami lah penyebab semua ini … “kata Pak Robert dengan suara penuh penyesalan.

“Ya, kami, Mama dan Papa-nya Vandalah yang menjadi penyebab semua kejadian ini. .. “ ulang Bu Robert sambil menangis tersedu-sedu. Ia sangat sedih memikirkan keadaan putrinya. Ia juga menyesal, karena masalah di dalam keluarga merekalah, yang  telah menimbulkan masalah lain, dan mengakibatkan banyak keluarga dan anak lain yang hilang juga.

“Seandainya kami tidak bertengkar, dan tidak sedang mengurus perceraian ini … kami tidak akan kehilangan putri kesayangan kami … “

Opa Yo membelai rambut Bu Robert dengan sayang, “Sudahlah, anakku… Kita sama-sama berdoa untuk anak-anak itu, untuk Vanda, untuk Steven, untuk Tim, untuk Loly, untuk Bik Nah. Mereka adalah anak-anak yang baik, Tuhan Yesus pasti menjaga dan melindungi mereka. Lagi pula, ada Bik Nah bersama-sama dengan mereka. Bik Nah pasti akan Tuhan pakai, untuk  membimbing mereka melakukan yang benar… Dan Opa yakin sekali, Tuhan Yesus saat ini ada bersama-sama dengan mereka…

 

Di Dalam Goa

Steven dan Tim yang tertangkap di dalam goa, tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi mereka bisa melihat dan bisa mendengar. Mereka melihat dan mendengar dengan jelas sekali, apa yang penjahat itu lakukan dan bicarakan.

“Kita akan segera mengangkut hewan-hewan ini, dan membawa mereka ke pelabuhan… Pukul 10 pagi, hewan-hewan ini sudah harus tiba di sana. Transaksi ini harus berjalan dengan sangat hati-hati, mengingat kita sudah punya pelanggan tetap.” Kata seorang yang berbadan besar dan berkumis tebal.

“Baik, Bos. Saya akan berhati-hati,“ jawab laki-laki lain yang berbadan tinggi kurus, dan bermata sipit.

“Lalu, bagaimana dengan mereka?“ salah seorang dari penjahat-penjahat itu melirik Stevan dan Tim.

“Hhhh … “  desah Boss mereka yang berbadan besar. “Itu salah mereka sendiri! Anak-anak itu sendiri yang mencari masalah dengan muncul di sini.  Jadi biarkan saja mereka menanggung akibatnya!”

“Tapi, mereka tidak akan dibiarkan di sini terus, kan?“ ucap penjahat yang lain, sepertinya tidak tega pada Steven dan Tim.

“Hmmm!“ Bos mendengus kesal. “Mereka boleh dibebaskan setelah transaksi kita selesai. Ingat kataku! Setelah transaksi kita selesai! Dan kau,” sang Boss menjunjuk penjahat yang tidak tega pada Steven dan Tim, “ Kau kembali ke sini, untuk melepaskan mereka. Sekarang, kalian kerjakan tugas masing-masing. Cepat! Dan jangan berisik lagi!“

Penjahat-penjahat itu segera bubar. Sebagian masuk ke dalam lorong. Sebagian lain mengemasi hewan-hewan di dalam kurungan. Ruang goa itu menjadi berisik lagi dengan teriakan-teriakan hewan yang bersaut-sautan …

Sementara itu Stevan dan Tim, berpandang-pandangan dengan wajah pucat. Mereka akan ditinggal di dalam goa, dengan tangan dan kaki terikat, serta mulut tersumpal. Sedangkan para penjahat itu akan segera pergi bersama dengan hewan-hewan mereka yang ada di dalam kurungan,  ke suatu pelabuhan tempat transaksi mereka dilaksanakan.

Pada saat yang sama, Bik Nah, Loly, dan Vanda, yang berada di mulut goa, menunggu-nunggu Tim dan Stevan kembali dari dalam badan goa, tidak tahu bahwa mereka sekarang  terkurung di dalam salah satu rongga goa dalam keadaan terikat…

bersambung

 

 

 

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

Bag : 7 - IDE YANG CERDIK

 

 

Ringkasan cerita sebelumnya :

Stevan dan Tim terikat di dalam gua. Para penjahat yang menangkap mereka, telah meninggalkan mereka. Sedangkan Bik Nah, Loly, dan Vanda yang menunggu kembalinya Stevan dan Tim, di mulut goa menjadi sangat gelisah. Di rumah Opa Yo sendiri, sudah penuh dengan banyak orang, termasuk Bapak dan Ibu Robert, kedua orang tua Vanda.

 

 

Para penjahat sudah pergi. Hewan-hewan liar, hasil tangkapan yang akan  dijual oleh para penjahat, juga sudah diangkut. Tinggal Stevan dan Tim, duduk meringkuk di sudut, dengan tangan terikat dan mulut tersumpal.

Sementara itu, seperginya para penjahat, Stevan dan Tim terus berjuang untuk bisa melepaskan tali yang mengikat tangan mereka. Mereka juga terus berdoa kepada Tuhan, agar mereka bisa selamat.

Tiba – tiba …

“ Mmmm … “ Stevan bersuara, sambil matanya melirik sebilah besi rongsok bergerigi, yang ujung-ujungnyan terlihat cukup tajam, yang terletak beberapa meter jaraknya dari tempat mereka duduk.

Tim menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak mengerti.

Lalu Stevan memperagakan tali pengikatnya, agar digosok-gosokan pada besi yang bergerigi itu.

Tim membulatkan matanya, lalu mengangguk-angguk bersemangat. Sambil menujuk-nunjuk ke arah besi bergerigi itu, ia berusaha untuk bergerak menggeleser dalam keadaan terikat, menuju ke tempat di mana besi bergerigi itu berada.

Lumayan susah juga, bergerak menggeleser dalam keadaan terikat. Tetapi, dengan usaha yang gigih dan penuh semangat, mereka akhirnya berhasil mendekati besi bergerigi itu. Untunglah, tali yang digunakan untuk mengikat tangan dan kaki Stevan dan Tim tidak terlalu kuat dan tebal, sehingga tali tersebut masih bisa dipapas dengan besi bergerigi yang dipenuhi karat itu.

“Uuughhh…. Akhirnya … “ seru Tim sekeras-kerasnya, sambil melepaskan kain yang menyumpal mulutnya.

Sementara Stevan, masih berusaha memotongkan sedikit lagi tali pengikat tangannya ke besi bergerigi. Tim membantu kakaknya melepaskan kain penyumbat yang menyumpal mulutnya ….

“Bebas!” seru Stevan dengan suara keras.

Ya, sekarang kedua tangannya sudah bebas. Dan untuk memutuskan tali pengikat kaki mereka, membutuhkan waktu tidak selama mereka berjuang memutuskan tali pengikat tangan mereka…

Stevan melirik jam tangannya.

“Pukul 4 dini hari. Ayo kita segera kembali ke mulut gua, dan tinggalkan tempat ini.”

Tim mengangguk.

“Apakah kamu akan melaporkan kejadian ini kepada Polisi, Steve?” tanya Tim.

Stevan mengangguk mantap, “Kita laporkan saja kepada Opa Yo, biar beliau yang mengurusnya. Kita harus cepat-cepat tiba di rumah, supaya para Polisi bisa mencegah aksi penjualan hewan liar itu…”

Tim mengangguk lagi, “Kamu benar, Stevan…”

Di mulut goa, Bik Nah, Loly, dan Vanda, menyambut kembalinya Stevan dan Tim dengan berlinangan air mata. Apalagi setelah keduanya menceritakan pengalaman yang mereka alami di dalam goa, dan bagaimana mereka telah bertemu dan disandera oleh beberapa orang penjahat.

“Sungguh mengerikan!” ucap Bik Nah berulang-ulang.

Sedangkan Loly dan Vanda, tak bosan-bosannya mendengarkan pengalaman Stevan dan Tim, yang diceritakan sampai berkali-kali. Sesekali, mulut Vanda dan Loly ternganga, mendengarkan bagaimana tingkah laku para penjahat. Mereka juga terperangah ketika Stevan dan Tim bercerita tentang banyaknya hewan liar yang ada di dalam goa.

Bik Nah, setelah mengetahui betapa menegangkan peristiwa yang sudah dialami oleh Stevan dan Tim, terus berdiri di depan goa. Ia berjalan mondar-mandir di depan goa, sambil mulutnya terus berkomat kamit, “ Sungguh pengalaman yang mengerikan. Bertemu dengan Penjahat sungguhan. Sungguh mengerikan. Oh Tuhan, cepatlah terangi langit, agar kami bisa segera kembali pulang ke rumah …. “

Hari pun segera menjadi terang.

Dengan langit yang terang, dan kabut yang sudah hilang, mereka tidak kesulitan menemukan jalan kembali.

Di tengah-tengah perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa orang laki-laki, yang segera mengenali Bik Nah, Stevan, Tim, Loly, dan Vanda.

Mereka berseru, “ Itu dia, anak-anak yang hilang!”

 

 

bersambung  

 

 

 

PETUALANGAN DI LEMBAH HIJAU

Bag : 8 - AKHIR YANG MENGGEMBIRAKAN

 

Ringkasan cerita sebelumnya :

Stevan dan Tim akhirnya berhasil menyelamatkan diri. Mereka segera kembali ke mulut goa, dan bergabung kembali bersama Bik Nah, Loly, dan Vanda.

Ketika hari mulai terang, ketika kelimanya sedang berjalan keluar dari goa, mereka ditemukan oleh beberapa orang laki-laki yang sedang mencari mereka.

 

 

Bik Nah, Stevan, Tim, Loly, dan Vanda, ditemukan dalam perjalanan kembali oleh beberapa laki-laki yang sedang mencari mereka.

Yah, pagi itu juga, mereka diantarkan kembali ke rumahnya. Sopir yang menunggunya semalaman di pintu masuk tempat wisata alam itu, juga sangat gembira melihat mereka ditemukan dalam keadaan selamat.

Sedangkan Stevan dan Tim, asyik menceritakan pengalaman-pengalaman seru mereka di dalam goa, sehingga membuat beberapa orang, terutama pengelola obyek wisata itu terheran-heran.

“ Diikat penjahat di dalam goa? “ tanya seseorang.

“ Ya… ada beberapa orang penjahat di sana … “ jawab Stevan bersemangat.

“ Dengan hewan-hewan liar yang akan diperjual-belikan?” tanya yang lainnya.

“ Iya! Ada musang, ada burung nuri merah, dan lain-lain … “ sahut Tim tak kalah cepat.

“ Jadi, ada hewan-hewan liar disana? “ ucap yang lain lagi.

“ Lalu apa lagi yang kalian temukan di sana?” Seorang laki-laki berkacamata dengan kamera besar tergantung di lehernya, ikut bertanya.

“ Yah, kami mendengar bahwa mereka akan membawa hewan-hewan itu ke pelabuhan, dan menjualnya sebelum pukul 10.00 pagi ini … “ jawab Stevan.

Beberapa orang dengan sigap segera mencatat setiap kalimat yang diucapkan Stevan dan Tim. Beberapa lagi yang lain mengambil foto mereka. Sebagian lagi mulai menelpon ke sana – sini.

Ya, hiruk pikuk disekeliling mereka, di tempat wisata alam “ Lembah Hijau “ itu, hingga mereka masuk ke dalam mobil, yang membawa mereka pulang ke rumah.

 

Di rumah, Opa Yo, serta orang tua Stevan, Tim, dan Loly, dan orang tua Vanda, sudah berdiri menunggu kepulangan mereka.

Para orang tua itu bahkan berdiri di tengah jalan, sambil menanti-nanti kedatangan anak-anak mereka  yang hilang.

Segera begitu anak-anak itu tiba di rumah, mereka segera berpelukan dan bertangis-tangisan.

Begitu pula dengan Vanda. Ia dipeluk dan dicium oleh kedua orang tuanya.

“Vanda putriku yang malang,” ucap Bu Robert dengan berlinang air mata.

“Vanda, sayang, “ Pak Robert juga memeluk Vanda, putri sematawayangnya itu.

“Papa!  Mama! Kalian berdua ada di sini?” Vanda menatap keduanya dengan mata bersinar-sinar.

Pak dan Bu Robert tersenyum mengangguk, “ Ya! Kami ada di sini. Kami sangat terkejut mendengar berita kehilanganmu.”

“Yah, dan kami juga sangat berterima kasih kepada Stevan, Tim, dan Loly, yang mau berbaik hati, mengajak Vanda berjalan-jalan, untuk sekedar menghilangkan kesedihannya, “ Lanjut Bu Robert dengan haru.

“ Dan ternyata, kesedihan Vanda memang benar-benar hilang. Karena, setelah kami mengetahui betapa sedihnya Vanda karena rencana perceraian kami, maka, kami memutuskan untuk kembali menjadi sebuah keluarga yang utuh…” lanjut Pak Robert.

“Maksud Papa?” tanya Vanda dengan mata berbinar-binar.

“Kami tidak jadi bercerai!” lanjut Pak Robert.

“Asyik….. “ seru Vanda kegirangan. Wajahnya yang semula selalu sendu dan sedih, kini berubah menjadi ceria, bahkan lebih ceria dari biasanya.

Bik Nah ikut tersenyum melihat anak asuhannya melompat-lompat kegirangan.

“Mama dan Papaku rukun kembali! Horeeyy… Hebat! Hebat! Hebat, kan Stevan, Tim, Loly … “ seru Vanda sambil melonjak-lonjak kegirangan.

Stevan, Tim, dan Loly, menatap Vanda sambil tertawa lebar, “ Ternyata usaha kami tidak sia – sia, ya …”

“ Yah, Tuhan ikut bekerja ditengah-tengah kita…” lanjut Loly tersenyum bangga. Ya, ia bangga punya Tuhan yang perkasa, yang sanggup memecahkan dan menyelesaikan masalah serumit apapun.

“Ya, itu benar. Karena itu, ingatlah selalu, bahwa di dalam setiap masalah, Tuhan punya rencana yang terindah buat kita.” Lanjut Opa Yo menerangkan.

 

Hari itu juga, mereka mendengar kabar bahwa transaksi penjualan satwa liar yang dilakukan penjahat yang menyandera mereka di dalam goa, berhasil digagalkan oleh polisi. Dan keesokan harinya, foto keempat anak yang hilang dengan seorang pembantu, bermunculan di beberapa media masa.

Yah, sungguh pengalaman yang menegangkan di Lembah Hijau.

 

 

 

 

selesai

 

 

 
Today, there have been 60 visitors (89 hits) on this page!
Hai....



Terima kasih sudah mengunjugi websiteku....



Di sini, teman-teman bisa membaca karya-karyaku, baik yang pernah diterbitkan di majalah, dipentaskan di panggung, difilmkan, sampai naskah-naskah yang batal terbit atau batal dipentaskan..



Selamat membaca dan semoga teman-teman menyukainya...



God Bless U All



link to : may-belle.webs.com
ANYONE PLS CONTACT ME AT : maureenmaybelle@yahoo.com This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free